PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin banyak orang yang melakukan
olahraga rekreasional dapat mendorong dirinya sendiri diluar batas kondisi
fisiknya dan terjadi lah cedera olahraga. Cedera terhadap sistem mukoluskletal
dapat bersifat akut (sprain, strain, dislokasi, fraktur) atau sebagai akibat
penggunaan berlebihan secara bertahap (kondromalasia, tendinitis, fraktur
sterss). Atlet profesional juga rentan terhadap cedera, meskipun latihan mereka
disupervisi ketat untuk meminimalkan terjadinya cedera. Namun sering kali atlet
tersebut juga dapat mengalami cedera muskoluskletal, salah satunya adalah
dislokasi.
Dislokasi atau keseleo merupakan
cedera umum yang dapat menyerang siapa saja, tetapi lebih mungkin terjadi pada
individu yang terlibat dengan olahraga, aktivitas berulang, dan kegiatan dengan
resiko tinggi untuk kecelakaan. Ketika terluka ligamen, otot atau tendon
mungkin rusak, atau terkilir yang mengacu pada ligamen yang cedera, ligamen
adalah pita sedikit elastis jaringan yang menghubungkan tulang pada sendi,
menjaga tulang ditempat sementara memungkinkan gerakan. Dalam kondisi ini, satu
atau lebih ligamen yang diregangkan atau robek. Gejalanya meliputi nyeri,
bengkak, memar, dan tidak mampu bergerak.
Dislokasi biasanya terjadi pada
jari-jari, pergelangan kaki, dan lutut. Bila kekurangan ligamen mayor, sendi
menjadi tidak stabil dan mungkin diperlukan perbaikan bedah.
Dislokasi atau luksasio adalah kehilangan
hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi secara komplet / lengkap (
Jeffrey m.spivak et al ,1999) terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi, dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang
bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya
(dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali
sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya.
Dengan kata lain, sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah
dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari
tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri.
Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya
menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang
mendukung dan me lindungi beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak
dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan
menyediakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi tulang yang
sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus di jaga
agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan
terjadinya patah tulang atau dislokasi tulang.
Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan
sedemikian rupa sehinggaTulang berpindah dari posisinya yang normal di
dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma
karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang disebut
dengan dislokasi ?
2.
Apa penyebab
terjadinya dislokasi ?
3.
Apa tanda dan
gejala dislokasi ?
4.
Bagaimana
anatomi dan fisiologi dislokasi ?
5.
Menjelaskan
klasifikasi disloaksi ?
6.
Menjelaskan
patofisiologi dislokasi ?
7.
Bagaimana WOC
dislokasi ?
8.
Bagaimana
penatalaksanaan dislokasi ?
9.
Menjelaskan
komplikasi dislokasi ?
10. Bagaimana askep teoritis dislokasi ?
C. Tujuan Makalah
1.
Untuk mengetahui definisi dislokasi
2.
Untuk mengetahui etiologi dislokasi
3.
Untuk mengetahui tanda dan gejala dislokasi
4.
Untuk mengetahui bagaimana anatomi fisiologi dislokasi
5.
Untuk mengetahui klasifikasi dislokasi
6.
Untuk mengetahui patofisiologi dislokasi
7.
Untuk mengetahui woc dislokasi
8.
Untuk mengetahui penatalaksanaan dislokasi
9.
Untuk mengetahui komplikasi dislokasi
10. Untuk
mengetahui askep teoritis dislokasi
BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
A. DEFINISI
Dislokasi adalah cedera struktur ligameno di
sekitar sendi, akibat gerakan menjepit atau memutar / keadaan dimana
tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan, secara anatomis
(tulang lepas dari sendi). (Brunner & Suddarth. 2001).
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya)
kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang
membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, 2000).
Dislokasi merupakan keadaan ruptura
total atau parsial pada ligamen penyangga yang mengelilingi sebuah sendi.
Biasanya kondisi ini terjadi sesudah gerakan memuntuir yang tajam (Kowalak,
2011).
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi
jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini terdapat hanya kepada
komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang
dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).
B.
ETIOLOGI
1.
Umur
Faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta kekenyalan
jaringan. Misalnya pada umur 30- 40 tahun kekuatan otot akan relative menurun. Elastisitas tendon dan ligamen
menurun pada usia 30 tahun.
2.
Terjatuh
atau kecelakan
Dislokasi dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga lutut
mengalami dislokasi.
3.
Pukulan
Dislokasi lutut dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian lututnya dan menyebabkan dislokasi.
4.
Tidak
melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering terjadi keseleo karena kurangnya pemanasan.
5.
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor
biasanya menyebabkan dislokasi.
6.
Cedera olahraga. Pemain basket dan kiper pemain sepak
bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara
tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
7.
Terjatuh. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat
berdansa diatas lantai yang licin.
8.
Kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Adanya bengkak / oede
2. Mengalami keterbatasan gerak
3. Adanya spasme otot(kekauan otot)
4. Nyeri lokal
(khususnya pada saat menggerakkan sendi)
5. Pembengkakan
dan rasa hangat akibat inflamasi
6. Gangguan
mobilitas akibat rasa nyeri
7. Perubahan
warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan sekitarnya (tampak
kemerahan).
8. Perubahan
kontur sendi
9. Perubahan
panjang ekstremitas
10. Kehilangan
mobilitas normal
11. Perubahan
sumbu tulang yang mengalami dislokasi
D. ANATOMI & FISIOLOGI
Sistem
muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan.
Komponen utama sistem meskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sitem ini terdiri
atas tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, dan jaringan khusus yang
menghubungkan struktur-struktur ini.
Secara garis besar, tulang dibagi
menjadi enam :
1.
Tulang panjang : misalnya femur, tibia, fibula, ulna,
dan humerus.
Didaerah ini
sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena daerah ini
merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah.
2.
Tulang pendek : misalnya tulang-tulang karpal.
3.
Tulang pipih : misalnya tulang parietal, iga, skapula
dan pelvis.
4.
Tulang tak beraturan : misalnya tulang vertebra.
5.
Tulang sesamoid : misalnya tulang patela
6.
Tulang sutura : ada di atap tengkorak.
Histologi tulang :
1. Tulang
imatur : terbentuknya pada perkembangan embrional dan tidak terlihat lagi pada
usia 1 tahun. Tulang imatur mengandung jaringan kolagen.
2. Tulang
matur : ada dua jenis, yaitu tulang kortikal (compact bone) dan tulang
trabekular (spongiosa).
Secara
histologi, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah sel, dan
jaringan kolagen.
Fisiologi
sel tulang
Tulang adalah suatu jaringan dinamis
yang tersusun dari tiga jenis sel : osteoblas, osteosit, osteoklas.
1. Osteoblas,
membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai
matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut
osifikasi.
2. Osteosit,
sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran
kimiawi melalui tulang yang padat.
3. Osteoklas,
sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat
diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang.
Sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa
asam yang melarutkan mineral tulang sehingga kalsium dan fosfat terlepas
kedalam aliran darah.
Dalam keadaan normal, tulang mengalami
pembentukan dan absorpsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa
pertumbuhan kanak-kanak yang lebih banyak terjadi pembentukan dari pada
absorpsi tulang. Proses ini penting untuk fungsi normal tulang. Keadaan ini
membuat tulang dapat berespons terhadap tekanan yang meningkat dan mencegah
terjadi patah tulang.
Bentuk tulang dapat disesuaikan untuk
menanggung kekuatan mekanis yang semakin meningkat. Perubahan membantu
mempertahankan kekuatan tulang pada proses penuaan. Matriks organi yang sudah
tua berdegenerasi sehingga membuat tulang relatif menjadi lemah dan rapuh.
Pembentukan tulang yang baru memerlukan matriks organik baru sehingga memberi
tambahan kekuatan pada tulang.
Metabolisme tulang diatur oleh beberapa
hormon. Peningkatan kadar hormon paratiroid mempunyai efek langsung dan segera
pada mineral tulang,yang menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak
memasuki serum. Peningkatan kadar hormon paratiroid secara perlahan
meneyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteklas sehingga terjadi
demineralisasi. Metabaolisme kalsium dan fosfat sangat berkaitan erat. Tulang
mengandung 99% dari seluruh kalsium tubuh dan 90% dari seluruh fosfat tubuh.
Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang.
Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absropsi tulang seperti yang
terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin
D,hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Vitamin D dalam
jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang,antara lain dengan meningkatkan
absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.
Anatomi
Sendi
Sendi adalah tempat pertemuan dua tulang
atau lebih. Tulang-tulang ini dipadukan dengan berbagai cara,misalnya dengan
kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau otot. Ada 3 tipe sendi
sebagai berikut :
1. Sendi
fibrosa (sinartrodial),merupakan sendi yang tidak dapat bergerak. Sendi fibrosa
tidak memiliki lapisan tulang rawan. Tulang yang satu dengan tulang lainnya
dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa.
2. Sendi
kartilaginosa (amfiartrodia), merupakan sendi yang dapat sedikit bergerak.
Sendi kartilaginosa adalah sendi yang ujung-ujung tulangnya dibungkus oleh tulang
rawan hialin, disokong oleh ligamen, dan hanya dapat sedikit bergerak.
3. Sendi
sinovial (diartrodial), merupakan sendi yang dapat digerakkan dengan bebas.
Sendi ini memiliki rongga sendi dan permukaan sendi dilapisi tulang rawan
hialin.
Kapsul sendi terdiri dari selaput penutup
fibrosa padat, suatu lapisan dalam yang terbentuk dari jaringan penyambung
berpembuluh darah banyak, serta sinovium yang membentuk suatu kantung yang
melapisi seluruh sendi dan membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi.
Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan sendi.
Cairan sinovial normalnya bening , tidak membeku, dan tidak berwarna, jumlah
yang ditimbulkan dalam tiap-tiap sendi relatif kecil (1-3ml).
Tulang rawan sendi pada orang dewasa
tidak mendapat aliran darah, limfe,atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan
metabolisme lain dibawa oleh cairan sendi yang membasahi tulang rawan tersebut.
Perubahan susunan kolagen dan pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah
cedera atau ketika usia bertambah.beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai
membentuk kolagen tipe satu yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan
sebagian kemampuan hidrofiliknya. Perubahan ini berarti tulang rawan akan
kehilangan kemampuannya untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.
Aliran darah kesendi banyak yang menuju
sinovium. Pembuluh darah mulai masuk melalui tulang subkondral pada tingkat
tepi kapsul. Jaringan kapiler sangat tebal dibagian sinovium yang menempel
langsung pada ruang sendi. Hal ini memungkinkan bahan-bahan didalam plasma
berdifusi dengan mudah kedalam ruang sendi. Proses peradangan dapat sangat
menonjol disinovium karena didaerah tersebut banyak mendapat aliran darah dan
juga terdapat banyak sel mast dan sel lain serta zat kimia yang secara dinamis
berinteraksi untuk merangsang dan memperkuat respon peradangan.
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan
daerah yang berdekatan terutama adalah jaringan penyambung yang tersusun dari
sel-sel dan substansi dasar. Dua macam sel yang ditemukan pada jaringan
penyambung adalah sel-sel yang tidak dibuat dan tetap berada pada jaringan
penyambung ( seperti sel mast, sel palsma, limfosit, monosit, dan leukosit
polimorfonuklear).
Serat- serat yang terdapat pada
substansi dasar adalah kolagen dan elastin. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja
kolagenase. Serat-serat elastin memiliki sifat elastis, serat ini terdapat
dalam ligamen, dinding pembuluh darah besar, dan kulit. Elastin dipecahkan oleh
enzim yang disebut elastase.
E.
KLASIFIKASI
Dislokasi dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1.
Dislokasi kongenital : Terjadi sejak lahir akibat
kesalahan pertumbuhan.
2.
Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau
jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini
disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3.
Dislokasi traumatik : Kedaruratan ortopedi (pasokan
darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat
anoksia) akibat edema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang
kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan
mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular.
Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :
1.
Dislokasi Akut
Umumnya
terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di
sekitar sendi.
2.
Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma dislokasi
pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang
minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint
dan patello femoral joint. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah
tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh
karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
Berdasarkan tempat terjadinya :
1.
Dislokasi Sendi Rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi
karena :
a. Menguap atau
terlalu lebar.
b. Terkena
pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat
menutup mulutnya kembali.
1. Dislokasi
Sendi Bahu
Pergeseran kaput humerus
dari sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi
anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi
inferior).
2. Dislokasi
Sendi Siku
Merupakan mekanisme cederanya
biasanya jatuh pada tangan yang dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah
posterior dengan siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan
tonjolan-tonjolan tulang siku.
3.
Dislokasi Sendi Jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi
dan bila tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku kelak.
Sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau punggung
tangan.
4. Dislokasi
Panggul
Bergesernya caput femur dari sendi
panggul, berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior), di
anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur menembus acetabulum
(dislokasi sentra).
5.
Dislokasi Patella
a.
Paling sering terjadi ke arah lateral.
b. Reduksi
dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral patella
sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan.
c. Apabila
dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.
d. Dislokasi
biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh
berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau
kontraksi otot dan tarikan.
Penyebab terjadinya dislokasi sendi
ada tiga hal yaitu karena kelainan congenital yang mengakibatkan kekenduran
pada ligamen sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic
akibat dari gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya
penyakit yang akhirnya terjadi perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut,
menyebabkan dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan
dan tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas sehingga
terjadi perubahan struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari
dislokasi sendi, perlu dilakukan adanya reposisi.
Adanya tekanan eksternal yang
berlebih menyebabkan suatu masalah yang disebut dengan dislokasi yang terutama
terjadi pada ligamen. Ligamen akan mengalami kerusakan serabut dari rusaknya
serabut yang ringan maupun total ligamen akan mengalami robek dan ligamen yang
robek akan kehilangan kemampuan stabilitasnya. Hal tersebut akan membuat
pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema. Sendi mengalami nyeri dan
gerakan sendi terasa sangat nyeri. Derajat disabilitas dan nyeri terus
meningkat selama 2 sampai 3 jam setelah cedera akibat membengkak dan pendarahan
yang terjadi maka menimbulkan masalah yang disebut dengan dislokasi.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
keperawatan
a.
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan dengan RICE.
ü R : Rest = Diistirahatkan adalah pertolongan pertama yang penting untuk mencegah
kerusakan jaringan lebih lanjut.
ü I : Ice = Terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan meredakan rasa nyeri.
ü C : Compression = Membalut
gunanya membantu mengurangi pembengkakan jaringan dan pendarahan lebih lanjut.
ü E : Elevasi = Peninggian
daerah cedera gunanya mengurangi oedema (pembengkakan) dan rasa nyeri.
b. Terapi dingin
Cara
pemberian terapi dingin sebagai berikut :
1. Kompres dingin
Teknik :
potongan es dimasukkan dalam kantong yang tidak tembus air lalu kompreskan pada
bagian yang cedera. Lamanya : dua puluh – tiga puluh menit dengan interval
kira-kira sepuluh menit.
2. Massage es
Tekniknya
dengan menggosok-gosokkan es yang telah dibungkus dengan lama lima - tujuh
menit, dapat diulang dengan tenggang waktu sepuluh menit.
3. Pencelupan atau perendaman
Tekniknya
yaitu memasukkan tubuh atau bagian tubuh kedalam bak air dingin yang dicampur
dengan es. Lamanya sepuluh – dua puluh menit.
4. Semprot dingin
Tekniknya
dengan menyemprotkan kloretil
atau fluorimethane ke bagian
tubuh yang cedera.
c. Latihan ROM
Tidak
dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan, latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung
jaringan yang sakit.
Penatalaksanaan medis : Farmakologi
1. Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami nyeri. Berikut
contoh obat analgetik :
a. Aspirin:
Kandungan : Asetosal 500mg ; Indikasi : nyeri otot ; Dosis dewasa 1tablet
atau 3tablet perhari, anak > 5tahun setengah sampai 1tablet, maksimum 1 ½
sampai 3tablet perhari.
b. Bimastan :
Kandungan : Asam Mefenamat 250mg perkapsul, 500mg perkaplet ; Indikasi : nyeri persendian, nyeri otot ; Kontra indikasi : hipersensitif, tungkak lambung, asma, dan ginjal ; efeksamping : mual muntah, agranulositosis, aeukopenia ; Dosis: dewasa awal 500mg lalu 250mg tiap 6jam.
Kandungan : Asam Mefenamat 250mg perkapsul, 500mg perkaplet ; Indikasi : nyeri persendian, nyeri otot ; Kontra indikasi : hipersensitif, tungkak lambung, asma, dan ginjal ; efeksamping : mual muntah, agranulositosis, aeukopenia ; Dosis: dewasa awal 500mg lalu 250mg tiap 6jam.
2. Pemberian
kodein atau obat analgetik lain (jika cedera berat).
3. Pemasangan
pembalut elastis atau gips, atau jika keseleo berat, pemasangan gips lunak atau
bidai untuk imobilisasi sendi.
4. Pembedahan
yang segera dilakukan untuk mempercepat kesembuhan, termasuk penjahitan kedua
ujung potongan ligamen agar keduanya saling merapat.
I.
KOMPLIKASI
Komplikasi dislokasi meliputi :
1.
Komplikasi dini
·
Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera. Pasien tidak
dapat mengerutkan oto deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa
pada otot tersebut.
·
Cedera pembuluh darah : arteri aksilla dapat rusak
·
Fraktur dislokasi
·
Kerusakan arteri
Pecahnya
arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya nadi,CRT(capillary
refill time) menurun,sianosis pada bagian distal,hematoma melebar,dan dingin
pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan darurat spilinting,perubahan
posisi pada yang sakit,tindakan reduksi,dan pembedahan.
2.
Sindrome kompartemen
Sindrom
kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang,
saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema
atau perdarahan yang menentukan otot, saraf dan pembuluh darah, atau karena
tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat
3.
Komplikasi lanjut
4.
Kekakuan sendi bahu
Immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu. Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang
secara otomatis membatasi abduksi.
5.
Kelemahan otot
6.
Dislokasi yang berulang
Terjadi
kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid.
ASKEP TEORITIS
1. Pengkajian
1. Identitas
Nama
,umur , pendidikan , suku bangsa , pekerjaan , penanggung jawab, agama, status
kawin , alamat , no medical record , ruang rawat , tanggal masuk , diagnosa
medic , yang mengirim/merujuk , tinggi badan/berat badan , sumber informasi.
2. TTV
a.
Nadi :
b.
Pernapasan :
c.
Tekanan darah :
d.
Suhu :
3. Riwayat Kesehatan
a.
Riwayat penyakit dahulu
Biasanya ditemukan kemungkinan penyebab
dislokasi, serta penyakit yang pernah diderita klien sebelumnya yang dapat
memperparah keadaan klien dan menghambat proses penyembuhan.
b.
Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien mengeluhkan nyeri pada bagian yang
terjadi dislokasi, pergerakan terbatas, klien melaporkan penyebab terjadinya
cedera. Biasanya dislokasi terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, benturan benda keras pada sendi, jatuh dari pohon, dll.
c.
Riwayat penyakit keluarga
Biasanya tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini
sebelumnya. Dan penyakit ini bukan merupakan penyakit turunan.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Rambut dan hygiene kepala
-
Warna rambut : Hitam
-
Keadaan rambut : Bersih, tidak rontok.
-
Kulit kepala : Bersih, tidak ada ketombe.
- Bau : Rambut pasien
tidak berbau.
b.
Wajah
Mata
- Posisi : Simetris kiri kanan
-
Konjungtiva : Menutupi pupil , anemis.
-
Sklera : Putih, tidak ikterik, tidak ada
pembesaran palpebrae.
-
Pupil :
Isokor kiri kanan = 3 mm
Respon cahaya baik.
Hidung : Biasanya normal, simetris kiri
kanan
Tidak ada peradangan polip.
Tidak
ada sekret.
Tidak ada perdarahan.
Telinga
- Bentuk : Simetris kiri
kanan.
- Pendengaran : Normal.
- Serumen :
Tidak ada.
Bibir :
Biasanya normal, tidak ada oedema.
Mukosa bibir lembab.
Tidak
ada stomatitis dan apthae (Sariawan).
Mulut tidak berbau
Gigi : Biasanya normal.
Tidak ada caries gigi, karang gigi.
Tidak ada abses dan gusi tidak meradang.
Lidah :
Biasanya normal, bersih.
c. Leher :
Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid & getah bening.
JVP : 5
-2 cm air (normal).
d.
Dada dan Thorax
-
Inspeksi
: biasanya dada simetris kiri
kanan ,tidak ada edema ,tidak ada kelainan bentuk dada.
-
Palpasi :
biasanya getaran dada kiri kanan sama (vocal fremitus)
-
Perkusi : biasanya bunyi suara nya sonor
-
Auskultasi
: bunyi nafasnya vesikuler
(inspirasi lebih panjang dari ekspirasi)
e. Jantung
-
Inspeksi : Biasanya ictus cordis terlihat.
-
Palpasi : Biasanya ictus cordis teraba.
-
Perkusi : Biasanya bunyi jantung redup atau pekak.
-
Auskultasi
: Biasanya tidak didapatkan bunyi jantung
tambahan.
f.
Abdomen
-
Inspeksi :
Bentuk perut , Biasanya tidak membuncit.
Dinding
perut, Sirkulasi kolateral ada.
-
Auskultasi : Bising usus 5-35x/i (normal)
-
Palpasi :
Tidak ada pembesaran pada abdomen, hepar tidak teraba.
Turgor kulit :
normal, kulit tampak bagus.
-
Perkusi :
Tympani (normal).
g. Ekstremitas
Biasanya ektremitasnya bermasalah karena
terjadi pergeseran antara tulang dan sendi
h.
Pemeriksaan
saraf kranial
·
Saraf I
: pada klien dislokasi fungsi saraf I tidak ada kelainan, fungsi penciuman
tidak ada kelainan .
·
Saraf II : setelah dilakukan tes ,ketajaman penglihatan dalam kondisi
normal.
·
Saraf III , IV dan V : biasanya tidak
ada gangguan mengangkat , kelopak mata dan pupil isokor.
·
Saraf VI : klien dislokasi umumnya tidak mengalami paralisis pada otot
wajah dan biasanya refleks kornea tidak ada kelainan.
·
Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris .
·
Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tulikonduktif dan tuli persepsi
.
·
Saraf IX dan X : kemapuan menelan baik.
·
Saraf XI : tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
·
Saraf XII : lidah simetris , tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi . indra pengecapan normal.
·
Pemeriksaan refleks : biasanya tidak
didapatkan refleks patologis.
·
Pemekriksaan sensorik : biasanya fungsi
sensorik tidak ada kelainan.
2.
Diagnosa
Keperawatan
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera pada
jaringan lunak, pemasangan alat / traksi.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan
kerusakan rangka neuromuskuler.
3.
Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan
aliran darah : cedera vaskuler langsung, edema berlebih,
hipovolemik dan pembentukan trombus.
3.
Rencana Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc
No
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Tujuan
dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1.
|
Nyeri Akut
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang
tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
pontensial digambarkan dalam kerusakan sedemikian rupa (Internasional
Association for the study og Pain) : awitan yang tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atai
diprediksi dan berlangsung <6 bulan.
Batasan
Karakteristik :
Ø Perubahan
selera makan
Ø Perubahan
tekanan darah
Ø Perubahan
frekwensi jantung
Ø Perubahan
frekwensi pernapasan
Ø Laporan
isyarat.
Ø Diaforesis.
Ø Perilaku
distraksi (mis : Berjalan mondar-mandir mencari orang lain atau aktivitas
lain, aktivitas berulang).
Ø Mengekspresikan
perilaku (mis: gelisah, merengek, menangis).
Ø Masker
wajah (Mis : mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata terpancar atau
tetap pada satu fokus meringis).
Ø Sikap
melindungi area nyeri.
Ø Fokus
menyempit (mis : gangguan persepsi nyeri, hambatan proses berfikir, penurunan
interaksi dengan orang dan lingkungan).
Ø Indikasi
nyeri yang dapat diamati
Ø Perubahan
posisi untuk menghindari nyeri.
Ø Sikap
tubuh melindungi
Ø Dilatasi
pupil.
Ø Melaporkan
nyeri secara verbal
Ø Gangguan
tidur
Faktor
yang berhubungan :
Ø Agen
cidera (Mis : Biologis, zat kimia, fisik, psikologis).
|
NOC
-
Pain level
-
Pain control
-
Comfort level
Kriteria Hasil :
·
Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)
·
Melaporakan bahwa nyeri berkurang
dengan menggunakan manajemen nyeri.
·
Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).
·
Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang.
|
NIC
·
Lakukan pengkajian nyeri : secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi.
·
Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan.
·
Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien.
·
Kaji kultur yang mempengaruhi
respon nyeri.
·
Evaluasi pengalaman nyeri masa
lampau.
·
Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau.
·
Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan.
·
Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
·
Kurangi faktor presipitasi nyeri.
·
Pilih dan lakukan penanganan
nyeri(farmakologi, non farmakologi dan interpersonal)
·
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
·
Ajarkan tentang teknik non
farmakologi.
·
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
·
Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri.
·
Tingkatkan istirahat.
·
Kolaborasi dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil.
·
Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri.
Analgesic Administration
·
Tentukan lokasi, karakeristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat.
·
Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan frekuensi.
·
Cek riwayat alergi.
·
Pilih analgesik yang diperlukan
atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu.
·
Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya nyeri.
·
Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal.
·
Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri secara teratur.
·
Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama kali.
·
Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat.
·
Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala.
|
2.
|
Hambatan mobilitas fisik
Definisi
: Keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah.
Batasan Karakteristik :
Ø Penurunan
waktu reaksi.
Ø Kesulitan
membolak-balik posisi.
Ø Melakukan
aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (Mis : Meningkatkan perhatian
pada aktivitas orang lain, mengendalikan perilaku, fokus pada
ketunadayaan/aktivitas sebelum sakit).
Ø Dispnea
setalah beraktivitas.
Ø Perubahan
cara jalan.
Ø Gerakan
bergetar.
Ø Keterbatasan
kemampuan melakukan keterampilan motorik halus.
Ø Keterbatasan
kemampuan melakukan keterampilan
motorik halus.
Ø Keterbatasan
rentang pergerakan sendi.
Ø Tremor
akibat pergerakan
Ø Ketidakstabilan
postur
Ø Pergerakan
lambat
Ø Pergerakan
tidak terkoordinasi
Faktor yang berhubungan :
Ø Intoleransi
aktivitas
Ø Perubahan
metabolisme seluler
Ø Ansietas.
Ø Indeks
masa tubuh diatas perentil ke-75 sesuai usia.
Ø Gangguan
koknitif
Ø Konstraktur.
Ø Kepercayaan
budaya tentang aktivitas sesuai usia.
Ø Fisik
tidak bugar.
Ø Penurunan
ketahanan tubuh.
Ø Penurunan
kendali otot.
Ø Malnutrisi
Ø Gangguan
muskuloskeletal
Ø Gangguan
neuromoskuler, nyeri
Ø Agens
obat
Ø Penurunan
kekuatan otot.
Ø Kurang
pengetahuan tentang aktivitas fisik.
Ø Keadaan
mood depresif.
Ø Keterlambatan
perkembangan
Ø Ketidaknyamanan
Ø Disuse,
kaku sendi.
Ø Kurang
dukungan lingkungan(mis: fisik atau sosial.)
Ø Keterbatasan
ketahanan kardiovaskuler.
Ø Kerusakan
integritas struktur tulang
Ø Program
pembatasan gerak.
Ø Keengganan
memulai pergerakan.
|
NOC :
-
joint movement : active.
-
mobility level.
-
self care : ADLs
-
transfer performance
Kriteria hasil :
·
klien meningkat dalam aktivitas fisik.
·
mengerti tujuan dan peningkatan
mobilitas.
·
memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah.
·
memperagakan penggunaan alat
bantu untuk mobilisasi (walker)
|
NIC :
·
Exercise therapy : ambulation
·
monitoring vital sign sebelum
/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan.
·
konsultasikan dengan terapi fisik
tentang rencana ambulasi sesuai denga kebutuhan.
·
bantu klien untuk menggunakan
tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera.
·
ajarkan pasien atau tenaga
kesehatan lain tentang teknik ambulasi.
·
kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi.
·
latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan.
·
didampingi dan bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs.
·
berikan alat bantu jika klien memerlukan.
·
ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika diperlukan.
|
3.
|
Ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer
Definisi
: penurunan sirkulasi darah keperifer yang dapat mengganggu kesehatan.
Batasan
karakteristik :
Ø tidak
ada nadi
Ø perubahan
fungsi motorik
Ø perubahan
karakteristik kulit (warna, elastisitas, rambut, kelembapan,
kuku,sensasi,suhu ).
Ø ankle-brakhial <0,90
Ø perubahan
tekanan darah di ekstremitas
Ø waktu
pengisian kapiler >3 detik
Ø klaudikasi
Ø warna
tidak kembali ketungkai saat tungkai diturunkan.
Ø kelambatan
penyembuhan luka perifer
Ø penurunan
nadi
Ø edema
Ø nyeri
ekstremitas
Ø bruit
femoral
Ø pemendekan
jarak total yang ditempuh dalam uji berjalan enam menit.
Ø pemendekan
jarak bebas nyeri yang ditempuh dalam uji berjalan enam menit
Ø perestesia
Ø warna
kulit pucat saat elevasi
|
NOC :
-
circulation status
-
tissue perfusion : cerebral
Kriteria hasil :
Mendemonstrasikan status
sirkulasi yang ditandai dengan:
·
tekanan sistole dan diastole
dalam rentang yang diharapkan.
·
tidak ada ortostatik hipertensi
·
tidak ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
Mendemonstrasikan kemampuan
kognitif yang ditandai dengan :
·
berkomunikasi dengan jelas dan
sesuai dengan kemampuan.
·
menunjukkan perhatian .konsentrasi
dan orientasi.
·
memproses informasi
·
membuat keputusan dengan benar.
Menunjukkan
fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran membaik, tidak
ada gerakan gerakan involunter .
|
NIC :
Peripheral sensation management
(manajemen sensasi perifer )
·
monitor adanya daerah tertentu
yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul.
·
monitor adanya paretese.
·
instruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi
·
gunakan sarung tangan untuk
proteksi
·
batasi gerakan pada kepala ,leher
, dan punggung.
·
monitor kemampuan BAB
·
kolaborasi pemberian anlgetik
·
monitor adanya tromboplebitis
·
diskusikan mengenai penyebab
perubahan sensasi.
|
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang
dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang
bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya
(dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali
sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya.
Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah
dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari
tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri.
Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya
menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang
mendukung dan me lindungin beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak
dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan
menye diakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi
tulang yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang
harus di jaga agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat
mengakibatkan terjadinya patah tulang atau dislokasi tulang.
Dislokasi terjadi saat
ligamen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari
posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh
faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak
lahir (kongenital).
B. SARAN
Dengan
diberikannya tugas ini mahasiswa dapat lebih memahami dan mengerti tentang
bagaimana penyakit dislokasi dan dapat melakukan perawatan yang baik dan tepat
serta menegakkan asuhan keperawatan yang baik. Dengan adanya hasil tugas ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bacaan untuk menambah wawasan dari ilmu yang
telah didapatkan dan lebih baik lagi dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC
NANDA NIC NOC International. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC, 2013
Arif Muttaqin. Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskululoskeletal. Jakarta : EGC, 2008
Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8, Jakarta : EGC, 2002
Arif Muttaqin. Buku
Saku Gangguan Muskuloskeletal, Jakarta : EGC, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar