EN

EN

Rabu, 06 Mei 2015

ASKEP MIOMA UTERI

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Mioma uteri adalah tumor yang paling umum pada traktus genitalis (Derek Llewellyn- Jones, 1994).

Mioma uteri adalah tumor jinak otot rahim, disertai jaringan ikatnya (www. Infomedika. htm, 2004).

B. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom, khususnya pada kromosom lengan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor, di samping faktor predisposisi genetik, adalah estrogen, progesteron dan human growth hormone.
  1. Estrogen
    Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Seringkali terdapat pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Adanya hubungan dengan kelainan lainnya yang tergantung estrogen seperti endometriosis (50%), perubahan fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis (16,5%) dan hiperplasia endometrium (9,3%).Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. 17B hidroxydesidrogenase: enzim ini mengubah estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi estron (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini berkurang pada jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak daripada miometrium normal.
  2. Progesteron
    Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan 17B hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
  3. Hormon pertumbuhan
    Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL, terlihat pada periode ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leiomioma selama kehamilan mingkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan Estrogen.

Dalam Jeffcoates Principles of Gynecology, ada beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu :
  1. Umur :
    Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering memberikan gejala klinis antara 35 – 45 tahun.
  2. Paritas :
    Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanirta yang relatif infertil, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakan infertilitas menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertilitas, atau apakah kedua keadaan ini saling mempengaruhi.
  3. Faktor ras dan genetik :
    Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadian mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.
  4. Fungsi ovarium :
    Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke, berkembang setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth factor yang distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak pada mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting pada perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang berkembang setelah menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.


C. Klasifikasi

Klasifikasi mioma dapat berdasarkan lokasi dan lapisan uterus yang terkena
  1. Lokasi

    Cerivical (2,6%), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi. Isthmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus urinarius. Corporal (91%), merupakan lokasi paling lazim, dan seringkali tanpa gejala.
  2. Lapisan Uterus

    Mioma uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasinya dibagi menjadi tiga jenis yaitu :
    • Mioma Uteri Subserosa

      Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai. Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum dan disebut sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga peritoneal sebagai suatu massa. Perlengketan dengan usus, omentum atau mesenterium di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga mioma akan terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai jenis parasitik.
    • Mioma Uteri Intramural

      Disebut juga sebagai mioma intraepitelial. Biasanya multipel apabila masih kecil tidak merubah bentuk uterus, tetapi bila besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus bertambah besar dan berubah bentuknya. Mioma sering tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah bawah. Kadang kala tumor tumbuh sebagai mioma subserosa dan kadang-kadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot rahim dapat besar, padat (jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan).
    • Mioma Uteri Submukosa

      Terletak di bawah endometrium. Dapat pula bertangkai maupun tidak. Mioma bertangkai dapat menonjol melalui kanalis servikalis, dan pada keadaan ini mudah terjadi torsi atau infeksi. Tumor ini memperluas permukaan ruangan rahim.
      Dari sudut klinik mioma uteri submukosa mempunyai arti yang lebih penting dibandingkan dengan jenis yang lain. Pada mioma uteri subserosa ataupun intramural walaupun ditemukan cukup besar tetapi sering kali memberikan keluhan yang tidak berarti. Sebaliknya pada jenis submukosa walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit untuk dihentikan sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi.


D. Komplikasi
  1. Pertumbuhan leimiosarkoma.

    Mioma dicurigai sebagai sarcoma bila selama beberapa tahun tidak membesar, sekonyong – konyong menjadi besar apabila hal itu terjadi sesudah menopause.
  2. Torsi (putaran tangkai)

    Ada kalanya tangkai pada mioma uteri subserosum mengalami putaran. Kalau proses ini terjadi mendadak, tumor akan mengalami gangguan sirkulasi akut dengan nekrosis jaringan dan akan tampak gambaran klinik dari abdomenakut.
  3. Nekrosis dan Infeksi

    Pada myoma subserosum yang menjadi polip, ujung tumor, kadang-kadang dapat melalui kanalis servikalis dan dilahirkan dari vagina, dalam hal ini kemungkinan gangguan situasi dengan akibat nekrosis dan infeksi sekunder.
E. Pemeriksaan Penunjang
  1. Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb: turun, Albumin : turun, Lekosit : turun / meningkat, Eritrosit : turun.
  2. USG : terlihat massa pada daerah uterus.
  3. Vaginal Toucher : didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa, konsistensi dan ukurannya.
  4. Sitologi : menentukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma tersebut.
  5. Rontgen : untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang dapat menghambat tindakan operasi.
  6. ECG : Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat mempengaruhi tindakan operasi.

F. Penatalaksanaan
Indikasi mioma uteri yang diangkat adalah mioma uteri subserosum bertangkai. Pada mioma uteri yang masih kecil khususnya pada penderita yang mendekati masa menopause tidak diperlukan pengobatan, cukup dilakukan pemeriksaan pelvic secara rutin tiap tiga bulan atau enam bulan. Adapun cara penanganan pada myoma uteri yang perlu diangkat adalah dengan pengobatan operatif diantaranya yaitu dengan histerektomi dan umumnya dilakukan histerektomi total abdominal. Tindakan histerektomi total tersebut dikenal dengan nama Total Abdominal Histerektomy and Bilateral Salphingo Oophorectomy (TAH-BSO). TAH–BSO adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus, serviks, kedua tuba falofii dan ovarium dengan melakukan insisi pada dinding, perut pada malignan neoplasmatic desease, leymyoma dan chronic endrometriosis (Tucker, Susan Martin, 1998).
Askep Mioma Uteri


G. Diagnosa Keperawatan yang Muncul
  1. Gangguan eliminasi urin (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan neoplasm pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik.
  2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot.

H. Intervensi

Diagnosa Keperawatan I

Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot dan system saraf akibat penyempitan kanalis servikalis oleh myoma

Tujuan :
Klien dapat mengontrol nyerinya dengan criteria hasil mampu mengidentifikasi cara mengurangi nyeri, mengungkapkan keinginan untuk mengontrol nyerinya.

Intervensi :
  • Observasi adanya nyeri dan tingkat nyeri.
    Rasional : Memudahkan tindakan keperawatan
  • Ajarkan dan catat tipe nyeri serta tindakah untuk mengatasi nyeri
    Rasional : Meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri yang dialaminya.
  • Ajarkan teknik relaksasi
    Rasional : Meningkatkan kenyamanan klien
  • Anjurkan untuk menggunakan kompres hangat
    Rasional : Membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan klien
  • Kolaborasi pemberian analgesik
    Rasional : Mengurangi nyeri

Diagnosa Keperawatan II :

Gangguan eliminasi urine (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan neoplasma pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik.

Tujuan :
Pola eliminasi urine ibu kembali normal dengan criteria hasil ibu memahami terjadinya retensi urine, bersedia melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan retensi urine.

Intervensi :
  • Catat pola miksi dan monitor pengeluaran urine
    Rasional : Melihat perubahan pola eliminasi klien
  • Lakukan palpasi pada kandung kemih, observasi adanya ketidaknyamanan dan rasa nyeri.
    Rasional : Menentukan tingkat nyeri yang dirasakan oleh klien
  • Anjurkan klien untuk merangsang miksi dengan pemberian air hangat, mengatur posisi, mengalirkan air keran.
    Rasional : Mencegah terjadinya retensi urine


Daftar Pustaka
Bagian Obstetri & Ginekologi FK. Unpad. 1993. Ginekologi. Elstar. Bandung
Carpenito, Lynda Juall, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta
Galle, Danielle. Charette, Jane.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC. Jakarta
Hartono, Poedjo. 2000. Kanker Serviks/Leher Rahim & Masalah Skrining di Indonesia. Kursus Pra kongres KOGI XI Denpasar. Mimbar Vol.5 No.2 Mei 2001
Saifidin, Abdul Bari,dkk. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo & JNKKR-POGI. Jakarta

Senin, 04 Mei 2015

ILMU GIZI (GIZI PADA REMAJA)


BAB I
PENDAHULUAN
I.I  Latar Belakang
Remaja adalah individu baik pria atau wanita yang berada pada masa/usia antara anak-anak dan dewasa. Remaja adalah kelompok orang yang berusia 10-19 tahun.
Masa remaja merupakan periode dari pertumbuhan dan proses kematangan manusia, pada masa ini terjadi perubahan yang sangat unik dan berkelanjutan. Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi akan mempengaruhi status kesehatan dan gizinya. Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi kurang.
Status gizi dapat ditentukan melalui pemeriksaan laboratorium maupun secara antropometri. Kekurangan kadar hemoglobin atau anemi ditentukan dengan pemeriksaan darah. Antropometri merupakan cara penentuan status gizi yang paling mudah dan murah. Indeks Massa Tubuh (IMT) direkomendasikan sebagai indikator yang baik untuk menentukan status gizi remaja.
Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat kesehatan masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, risiko melahirkan bayi dengan BBLR, penurunan kesegaran jasmani. Banyak penelitian telah menunjukkan kelompok remaja mengalami banyak masalah gizi. Masalah gizi tersebut antara lain Anemi dan IMT kurang dari batas normal atau kurus. Prevalensi anemi berkisar antara 40%, sedangkan prevalensi remaja dengan IMT kurus berkisar antara 30%. Banyak faktor yang menyebabkan masalah ini. Dengan mengetahui faktor-
I.2   Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian dari Remaja?
  2. Bagaimana karakteristik makan pada remaja?
  3. Alasan apa saja yang mendasari remaja?
  4. Bagaimana karakteristik makan pada remaja?
  5. Faktor apa saja yang memicu timbulnya masalah gizi pada remaja?
  6. Bagaimana cara mengatasi supaya masalah gizi pada remaja tidak terjadi ?
1.3 Manfaat Penulisan Makalah
  1. Bagi Penulis
    Membantu penulis mengetahui dan memahami secara mendalam tentang kebutuhan gizi remaja.
  2. Bagi Remaja
    Membantu remaja untuk mengetahui betapa pentingnya pemenuhan gizi dalam kehidupannya sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Definisi
Remaja adalah individu baik pria atau wanita yang berada pada masa/usia antara anak-anak dan dewasa. Remaja adalah kelompok orang yang berusia 10-19 tahun. Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi pada masa remaja akan di pengaruhi status kesehatan dan gizi remaja tersebut. Salah satu area penting dalam kesehatan remaja adalah kesehatan reproduksi remaja.
Kesehatan reproduksi remaja (adolescent reproductive health) adalah upaya kesehatan reproduksi yang dibutuhkan oleh remaja. Salah satu unsur yang berperan dalam mewujudkan kesehatan reproduksi remaja adalah status gizi. Asupan zat-zat gizi seimbang dan sesuai dengan kebutuhan remaja akan  membantu remaja mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi kurang.
  1. Karakteristik Perilaku Makan Remaja
Berikut ini karakteristik perilaku makan yang dimiliki remaja:
  1. Kebiasaan tidak makan pagi dan malas minum air putih
  2. Gadis remaja sering terjebak dengan pola makan tak sehat, menginginkan penurunan berat badan secara drastic, bahkan sampai gangguan pola makan. Hal ini dikarenakan remaja memiliki body image (citra diri) yang mengacu pada idola mereka yang biasanya adalah para artis, pragawati, selebriti yang cenderung memiliki tubuh kurus, tinggi dan semampai
  3. Kebiasaan “ngemil” yang rendah gizi (kurang kalori, protein, vitamin dan mineral) seperti makanan ringan, kerupuk, dan chips
  4. Kebiasaan makan  makanan siap saji (fast food) yang komposisi gizinya tidak seimbang yaitu terlalu tinggi kandungan energinya, seperti pasta, fried chiken, dan biasaya juga disertai mengkonsumsi minuman bersoda yang berlebihan.
C.Perilaku Konsumsi Gizi yang Salah pada Remaja Sekolah
Ketidak tahuan akan gizi yang benar pada usia remaja taupun sekolah, menyebabkan remaja tersebut sering berperilaku konsumsi gizi yang salah. berikut beberapa perilaku konsumsi gizi yang salah pada remaja/anak sekolah:
  1. Tidak Mengonsumsi Menu Gizi Seimbang
Kebiasaan remaja dan anak yang susah makan, ini biasanya hanya gemar pada makanan seperti mie, padahal jelas mie goreng itu hanya mengandung karbohidrat dan lemak saja. tidak ada sumber protein, vitamin dan mineralnya.
  1.  Kebiasaan Tidak Sarapan Pagi
Makan pagi mempunyai peranan penting bagi anak remaja yang khususnya sekolah/kuliah, yaitu untuk pemenuhan gizi di pagi hari dimana para remaja dan anak-anak tersebut mempunyai aktivitas yang sangat padat di sekolah. Apabila anak-anak terbiasa sarapan pagi, maka akan berpengaruh terhadap kecerdasan otak, terutama daya ingat sehingga dapat mendukung prestasi belajar anak/ remaja tersebut ke arah yang baik. Sarapan pagi merupakan pasokan energi untuk otak yang paling baik agar dapat berkonsentrasi disekolah.
Ketika bangun pagi, gula darah dalam tubuh kita rendah karena semalaman tidak makan. Tanpa sarapan yang cukup, otak akan sulit berkonsentrasi di sekolah/di kampus.
  1.  Jajan tidak sehat di Sekolah/ di Kampus
Anak-anak remaja tidak dapat terlepas dari makanan jajanan di sekolah. hal ini merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas di sekolah yang tinggi. Biasanya para remaja sekolah ini menyukai makanan yang tinggi kalori yang bersumber dari lemak dan gula. padahal makanan tradisional sebetulnya kaya akan serat dan kalorinya tidak terlalu tinggi.
  1.  Kurang Mengonsumsi Buah dan Sayur
Anak-anak sekolah atau remaja umumnya susah apa bila disuruh mengonsumsi buah dan sayur. Padahal buah dan sayur merupakan sumber zat gizi vitamin, serat dan mineral. yang tentunya sangat baik untuk kesehatan dan kecerdasan remaja/anak tersebut.
  1.  Mengonsumsi Fast Food dan Junk Food
Para remaja-remaja biasanya sangat suka mengonsumsi fast food dan junk food karena mereka terpengaruh oleh iklan-iklan yang ada di televisi sehingga mereka beranggapan bahwa fast food dan junk food menunjukkan status sosial yang tinggi dan mengandung gizi yang baik. fast food tidak baik bagi kesehatan tubuh apabila di konsumsi dalam jumlah banyak, karena fast food dan junk food merupakan makanan tinggi lemak dan kolesterol. Bahkan di negara asalnya yaitu amerika ataupun Italia, makanan fast food dan Junk food ini di anggap sebagai makanan Sampah. Maka dari itu, mulailah konsumsi makanan tradisional yang kaya akan gizi tentunya.
  1.  Konsummsi Gula Berlebihan
Para remaja baik di sekolah maupun di kampus sering jajan yang serba manis-manis seperti es, gula-gula dan sebagainya. yang pada umumnya mengguna pemanis yangtidak aman untuk tubuh.
  1.  Konsumsi Natrium Berlebihan
Pada saat membeli jajanan juga biasanya para remaja suka membeli jajanan yang mengandung tinggi garam, seperti makanan ringan yang rasanya asin. Kelebihan Natrium, menyebabkan kadar natrium dalam darah meningkat. akibatnya, volume darah juga meningkat karaena kelebihan air disebabkan osmosis. peningkatan volume darah menyebabkan tekanan darah naik sehingga terjadi hipertensi.
  1.  Konsumsi Lemak Berlebihan
Para remaja lebih suka makanan jajan seperti bakso, mie ayam dan soto yang tinggi lemak ketimbang makan makanan yang di masak oleh orang tuanya di rumah. sehingga tubuh remaja tersebut tinggi akan lemak dan kolesterol.
  1.  Mengonsumsi Makanan Beresiko
Mengonsumsi makanan beresiko yaitu MSG berlebihan, kafein dan pengawet serta pewarna makanan yang berbahaya. untuk kesehatan dan berdampak untuk masa depannya.
  1. Kebutuhan Zat Gizi untuk Remaja
Beberapa alasan yang mendasari masa remaja membutuhka banyak zat gizi adalah :
  1. Secara fisik terjadi pertumbuhan yang sangat cepat
  2. Mulai berfungsi dan berkembangnya organ-organ reproduksi
  3. Remaja umumnya melakukan aktivitas fisik lebih tinggi di banding usia lainnya
 
  1. r67u
Penentuan kebutuhan gizi remaja secara umum didasarkan pada angka kecukupan gizi yang dianjurkan diindonesia. Yaitu sebagai berikut :
  • Energy
  • Protein
  • Lemak
  • Vitamin
  • Mineral
  • Kalsium
  • Besi (Fe)
  • Seng (Zn)
  1. Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi diperlukan untuk kegiatan sehari-hari maupun untuk proses metabolisme tubuh.
Energi sangat dibutuhkan oleh remaja untuk mendukung aktifitas sehari- hari serta dibutuhkan untuk proses matabolisme tubuh.
  1. Cara pertama : Menggunakan tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Indonesia sudah memiliki table AKG yang terdiri atas kecukupan beberapa zat gizi bagi orang Indonesia mulai umur bayi sampai lansia.
Berdasarkan table AKG, remaja memiliki kebutuhan energy sebesar :
– Umur 10-12 tahun : 2050 kkal
– Umur 13-15 tahun : 2400 kkal
– Umur 16-18 tahun : 2600 kkal
  1. Cara kedua : Menggunakan rumus berdasarkan berat badan
Salah satu cara untuk menghitung kecukupan energy remaja ialah dengan menggunakan rumus berikut :
Remaja putri
– Umur 10-12 tahun : 50-60 kkal/kg berat badan/hari
– Umur 13-18 tahun : 40-50 kkal/kg berat badan/hari
Remaja putra
– Umur 10-12 tahun : 55-60 kkal/kg berat badan/hari
– Umur 13-18 tahun : 45-55 kkal/kg berat badan/hari
  1. Kebutuhan protein
Kebutuhan protein meningkat karena proses tumbuh kembang berlangsung cepat. Apabila asupan energi terbatas/ kurang, protein akan dipergunakan sebagai energi.
Kebutuhan protein usia 10-12 tahun adalah 50 g/ hari, 13-15 tahun sebesar 57 g/ hari dan usia 16-18 tahun adalah 55 g/ hari. Sumber protein terdapat dalam daging, jeroan, ikan, keju, kerang dan udang (hewani). Sedangkan protein nabati pada kacang-kacangan, tempe dan tahu.
Protein tidak hanya digunakan untuk proses pertumbuhan pada remaja, akan tetapi juga sebagai cadangan energy jika asupan energy terbatas atau kurang.
Kecukupan protein pada remaja bisa diketahui dengan dua cara yaitu sebagai berikut :
  • Cara pertama : Menggunakan tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Umur 10-11 tahun : 50 gr
Umur 13-15 tahun : 60 gr
Umur 16-18 tahun : 65 gr
  • Cara kedua : Menggunakan pedoman berikut
Umur 10-12 tahun : 40 gr/hari (putra) | 50 gr/hari (putri)
Umur 13-15 tahun : 60 gr/hari (putra) | 57 gr/hari (putri)
Umur 16-18 tahun : 65 gr/hari (putra) | 50 gr/hari (putri)
  1. Kebutuhan Lemak dan Karbohidrat
Lemak dapat diperoleh dari daging berlemak, jerohan dan sebagainya. Kelebihan lemak akan disimpan oleh tubuh sebagai lemak tubuh yang sewaktu- waktu diperlukan. Departemen Kesehatan RI menganjurkan konsumsi lemak dibatasi tidak melebihi 25 % dari total energi per hari, atau paling banyak 3 sendok makan minyak goreng untuk memasak makanan sehari. Asupan lemak yang terlalu rendah juga mengakibatkan energi yang dikonsumsi tidak mencukupi, karena 1 gram lemak menghasilkan 9 kalori. Pembatasan lemak hewani dapat mengakibatkan asupan Fe dan Zn juga rendah.
Maka kebutuhan lemak dan karbohidrat sebagai berikut :
– Kebutuhan lemak : (0.30 x 2050 kkal)/9 = 68.3 gr
– Kebutuhan karbohidrat : (0.55 x 2050 kkal)/4 = 281.9 gr
  1. Kebutuhan Vitamin dan Mineral
Kebutuhan vitamin dan mineral pada saat ini juga meningkat. Golongan vitamin B yaitu vitamin B1 (tiamin), vitamin B2 (riboflavin) maupun niasin diperlukan dalam metabolisme energi. Zat gizi yang berperan dalam metabolisme asam nukleat yaitu asam folat dan vitamin B12. Vitamin D diperlukan dalam pertumbuhan kerangka tubuh/ tulang. Selain itu, agar sel dan jaringan baru terpelihara dengan baik, maka kebutuhan vitamin A, C dan E juga diperlukan.
Remaja membutuhkan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup karena sangat berhubungan dengan proses pertumbuhan remaja serta kondisi pubertas yang dialami saat ini.
  1. Kebutuhan Fe / Zat Besi
Kekurangan Fe/ zat besi dalam makanan sehari-hari dapat menimbulkan kekurangan darah yang dikenal dengan anemia gizi besi (AGB). Makanan sumber zat besi adalah sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan, hati, telur dan daging. Fe lebih baik dikonsumsi bersama dengan vitamin C, karena akan lebih mudah terabsorsi.
J.Pola Makan Remaja
Pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut terlambat sekolah. Mengakibatkan anaksering menyimpang dari kebiasaan makannya.
  • Anak lebih aktif memilih makanan yang disukainya.
  • Anak yang memiliki aktifitas tinggi di luar rumah cenderung melupakan waktu mak
  • Masa remaja merupakan masa adoloseence growth spurt
Beberapa masalah yang berkaitan dengan gizi yang ditemukan pada remaja antara lain adala Indeks Massa Tubuh (IMT) kurang dari batas normal atau sebaliknya, memiliki IMT yang berlebih (obesitas), dan anemia serta yang berhubungan dengan gangguan perilaku berupa anoreksia nervosa dan bulminia.
  1. Masalah Gizi Pada Remajafghj
1.Obesitas
Walaupun kebutuhan energi dan zat-zat gizi lebih besar pada remaja daripada dewasa, tetapi ada sebagian remaja yang makannya terlalu banyak melebihi kebutuhannya sehingga menjadi gemuk. Aktif berolah raga dan melakukan pengaturan makan adalah cara untuk menurunkan berat badan. Diet tinggi serat sangat sesuai untuk para remaja yang sedang melakukan penurunan berat badan. Pada umumnya makanan yang serat tinggi mengandung sedikit energi, dengan demikian dapat membantu menurunkan berat badan, disamping itu serat dapat menimbulkan rasa kenyang sehingga dapat menghindari ngemil makanan/kue-kue.
  1. Kurang Energi Kronis
    Pada remaja badan kurus atau disebut Kurang Energi Kronis tidak selalu berupa akibat terlalubanyak olah raga atau aktivitas fisik. Pada umumnya adalah karena makan terlalu sedikit.Remaja perempuan yang menurunkan berat badan secara drastis erat hubungannya dengan faktor emosional seperti takut gemuk seperti ibunya atau dipandang lawan jenis kurang seksi.
3.Anemia
Anemia karena kurang zat besi adalah masalah yang paling umum dijumpai terutama pada perempuan. Zat besi diperlukan untuk membentuk sel-sel darah merah, dikonversi menjadi hemoglobin, beredar ke seluruh jaringan tubuh, berfungsi sebagai pembawa oksigen.Remaja perempuan membutuhkan lebih banyak zat besi daripada laki-laki. Agar zat besi yang diabsorbsi lebih banyak tersedia oleh tubuh, maka diperlukan bahan makanan yang berkualitas tinggi. Seperti pada daging, hati, ikan, ayam, selain itu bahan maknan yang tinggi vitamin C membantu penyerapan zat besi.
  1. Pendidikan Gizi Pada Wanita Remaja Dan Dewasa
Pendidikan gizi pada wanita remaja dan dewasa diperlukan untuk mencapai status gizi yang baik dan berperilaku gizi yang baik dan benar. Adapun pesan dasar gizi seimbang yang diuraikan oleh Depkes adalah:
  1. Makanlah aneka ragam makanan.
Tidak satupun jenis makanan yang mengandung semua zat gizi, yang mampu membuat seseorang hidup sehat, tumbuh kembang dan produktif. Makan makanan yang mengandung unsur-unsur gizi yang diperlukan oleh tubuh baik kualitas maupun kuantitas. Jadi, mengonsumsi makanan yang beraneka ragam menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
  1. Makanlah makanan untuk mencukupi kecukupan energi.
Setiap orang dianjurkan untuk memenuhi makanan yanng cukup kalori (energi) agar dapat hidup dan beraktivitas sehari-hari. Kelebihan konsumsi kalori akan ditimbun sebagai cadangan didalam tubuh yang berbentuk jaringan lemak.
  1. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi.
Ada dua kelompok karbohidrat yaitu karbohidrat kompleks dan sederhana. Proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat kompleks berlangsung lebih lama daripada yang sederhana. Konsumsi karbohidrat kompleks sebaiknya dibatasi 50% saja dari kebutuhan energi sehingga tubuh dapat memenuhi sumber zat pembangun dan pengatur.
  1. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai ¼ dari kecukupan energi.
Lemak dan minyak yang terdapat dalam makanan berguna untuk meningkatkan jumlah energi, membantu penyerapan vitamin (A, D, E dan K) serta menambah lezatnya hidangan. Mengonsumsi lemak dan minyak secara berlebihan akan mengurangi konsumsi makanan lain.
  1. Gunakan garam beryodium.
Kekurangan garam beryodium mengakibatkan penyakit gondok.
  1. Makanlah makanan sumber zat besi.
Zat besi adalah unsur penting untuk pembentukan sel darah merah. Kekurangan zat besi berakibat anamia gizi besi (AGB), terutama diderita oleh wanita hamil, wanita menyusui dan wanita usia subur.
  1. Berikan ASI saja pada bayi sampai umur 6 bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya.
ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, karena mempunyai kelebihan yang meliputi 3 aspek baik aspek gizi, aspek kekebalan dan kejiwaan.
  1. Biasakan makan pagi.
Bagi remaja dan dewasa makan pagi dapat memelihara ketahanan fisik, daya tahan tubuh, meningkatkan konsentrasi belajar dan meningkatkan produktivitas kerja.
  1. Minumlah air bersih yang aman dan cukup jumlahnya.
Aman berarti bersih dan bebas kuman.
  1. Lakukan aktivitas fisik secara teratur.
Dapat meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan, meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot serta memperlambat proses penuaan.
  1. Hindari minum minuman beralkohol.
Sering minum minuman beralkohol akan sering BAK sehingga menimbukan rasa haus. Alkohol hanya mengandung energi, tetapi tidak mengandung zat lain.
  1. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan.
Selain harus bergizi lengkap dan seimbang, makanan harus layak dikonsumsi sehingga aman untuk kesehatan. Makanan yang aman yaitu bebas dari kuman dan bahan kimia dan halal.
  1. Bacalah label pada makanan yang dikemasan
BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Masa remaja merupakan periode dari pertumbuhan dan proses kematangan manusia, pada masa ini terjadi perubahan yang sangat unik dan berkelanjutan. Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi akan mempengaruhi status kesehatan dan gizinya. Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi kurang.
Perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi pada masa remaja akan di pengaruhi status kesehatan dan gizi remaja tersebut. Salah satu area penting dalam kesehatan remaja adalah kesehatan reproduksi remaja. Kesehatan reproduksi remaja (adolescent reproductive health) adalah upaya kesehatan reproduksi yang dibutuhkan oleh remaja. Salah satu unsur yang berperan dalam mewujudkan kesehatan reproduksi remaja adalah status gizi. Asupan zat-zat gizi seimbang dan sesuai dengan kebutuhan remaja akan  membantu remaja mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi kurang.\
SARAN
  1. Remaja sebaiknya tetap sadar akan kebutuhan gizi walaupun mempunyai aktivitas yang  sangat padat.
  2. Sadar bahwa kesehatan itumahal harganya, lebih baik menjegah daripada mengatasi.3. Dengan pemenuhan kebutuhan gizi pada remaja diharapkan semakin banyak prestasi yang dihasilkan di negara ini. Karena dengan remaja yang terpenuhi zat gizinya semakin aktif dan konsentrasi dia dalam belajar dan berkreasi.

Minggu, 03 Mei 2015

KEP.ANAK DIFTERI

KEPERAWATAN ANAK (DIFTERI)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar belakang
Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak). Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan satu-satunya cara pengendalian efektif untuk penyakit difteri. Penelitian ini tergolong jenis penelitian analitik observasional yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara status imunisasi difteri dengan meningkatnya kasus difteri di Kabupaten Bangkalan tahun 2010. Status imunisasi difteri yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster beserta cakupan dari imunisasi tersebut.
1.2    Rumusan masalah
1.2.1     Bagaimana anatomi fisiologi saluran nafas atas  ?
1.2.2     Bagaimana definisi difteri ?
1.2.3     Bagaimana etiologi difteri ?
1.2.4     Bagaimana Patofisiologi difteri  ?
1.2.5     Bagaimana klasifikasi difteri ?
1.2.6     Bagaimana Manifestasi difteri ?
1.2.7     Bagaimana Penatalaksanaan difteri ?
1.2.8     Bagaimana Pencegahan difteri ?
1.2.9     Bagaimana komplikasi difteri  ?
1.2.10   Bagaimana hasil penelitian difteri  ?
1.2.11   Bagaimana system pelayanan kesehatan difteri ?
1.2.12   Bagaimana legal etis difteri
1.3    TUJUAN
1.3.1    Tujuan umum
Ø  Untuk mempelajari difteri
1.3.2    Tujuan khusus
a.Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi traktus respiratorius atas 
b.Untuk mengetahui Definisi difteri 
c.Untuk mengetahui etiologi difteri
d.Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC difteri
e.Untuk mengetahui Klasifikasi difteri
f.Untuk mengetahui Manifestasi difteri
g.Untuk mengetahui Penatalaksanaan difteri
h.Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic
i.Untuk mengetahui Pencegahan difteri
j.Untuk mengetahui komplikasi difteri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Anatomi dan Fisiologi saluran nafas atas

2.1.1  Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra. Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esophagus. Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah satu tulang tenggorokan untuk mamalia.


a.      Rongga mulut
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasilais. Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar.
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula. Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering, atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.
b.      Faring
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatini, merupakan otot  yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot:
1.      Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
2.      Palut Lendir (Mucous Blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.
3.      Otot
Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.
4.      Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior
5.      Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
6.      Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:


1.      Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.2
2.      Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
a.       Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.
b.      Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.
c.          Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.
Terdapat  macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.2
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.
3.      Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus. 
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “ kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
2.1.2 Fisiologi
     a.Fungsi faring
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.
1.      Penelanan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.
2.      Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.2
2.2       Definisi
Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak)
Difteri adalah penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman Coryneabacterium diphteria. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudo membran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal (Ilmu Kesehatan Anak)
2.3       Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravisialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atauintermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriaeadalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupunin vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
1.   Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2.   Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
3.   Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan denganElek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, danCorynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
o    Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
o    Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.
2.4       Pathofisiology dan WOC
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan. (1)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)
2.4       Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a)         Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
b)        Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang  rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c)         Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala     komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien, yaitu:
a)         Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur  darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
b)        Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c)         Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d)      Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.
2.5     Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3
Dalam 24 jam membrane dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membrane tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya, shingga sukar diangkat sehingga jika diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.3
Gejala local dan sistemik secara bertahap menghilang dan membrane akan menghilang dan membrane akan menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau malignant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala – gejala yang lebih berat dan membrane secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga ke telinga yang lain dan mengisi bagian bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.3
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
           Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.
a.          Gejala local, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak putihkotor yang makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat saluran nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bullneck ). Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
b.      Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.4
2.6       Penatalaksanaan
2.6.1 Isolasi dan karantina
            Penderita di isolasi sampai biakan negative tiga kali berturut-turut setelah masa akut terlampoi. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:
a)            Biakan hidung dan tenggorok
b)            Seyogyanya dilakukan tes SCHICK (tes kerentanan terhadap diftery)
c)            Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.3
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diftery.
Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.
Bila kultur + / SCHICK  test - : pengobatan karier’
Bila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery + penisilin
Bila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi aktif).3
2.6.2    Pengobatan
a. Tindakan Umum
1. Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul
2. Jenis Tindakan :
a)         Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
b)         Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
c)         Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,
d)        stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
e)         Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
f)          Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
g)         Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
h)         Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
1.      Berikan Oksigen
2.      Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :
i)        Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
j)        Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
k)      Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
l)        Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
b.      Tindakan Spesifik
1.  Tujuan :
a.    Menetralisir Toksin
b.   Eradikasi Kuman
c.    Menanggulangi infeksi sekunder
2.  Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
a)      40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
b)      80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
c)      120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,
komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri
Dosis DS (KI)
Cara Pemberian
Difteri hidung
20.000
IM
Difteri tonsil
40.000
IM atau IV
Difteri faring
40.000
IM atau IV
Difteri laring
40.000
IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas
80.000
IV
Difteri + penyulit, bullneck
80.000-120.000
IV
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja
80.000-120.000
IV
         SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :
1.      Uji Kepekaan
a.     Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
b.   Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,
maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).
c.      Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
a)      Tes kulit
a.    SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
b.   Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
b)               Tes Mata
· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah
· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian
· Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
· Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
· 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan
adrenalin 1:1000.
2. Antibiotik
a.        Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari·
b.        Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
3. Kortikosteroid
a.   Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
b.   Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
c.  Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
2.7       Pemeriksaan Diagnostik
a. Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin
ringan.
2.8       Komplikasi
1. Gangguan pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan.
2. Kerusakan jantung
     Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.
3. Kerusakan saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas.
2.9       Pencegahan
a.      Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.
b.      Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
c.       Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
Cara Pencegahan
1.      Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2.      Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3.      Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a)      Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b)      Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4.      Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5.      Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
a.       Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
b.      Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
c.       Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
d.      Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
e.       Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
2.10     Hasil penelitian
Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan satu-satunya cara pengendalian efektif untuk penyakit difteri. Penelitian ini tergolong jenis penelitian analitik observasional yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara status imunisasi difteri dengan meningkatnya kasus difteri di Kabupaten Bangkalan tahun 2010. Status imunisasi difteri yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster beserta cakupan dari imunisasi tersebut. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah multistage random sampling dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 51 anak yang terdiri dari 2 anak penderita, 3 anak karier dan 46 anak lainnya bebas dari kuman C.diphteriae. Penelitian dilakukan pada bulan September 2010 sampai dengan Oktober 2010 mulai dari pengurusan perizinan hingga pengambilan data primer. Data didapatkan dari hasil wawancara kepada ibu dari responden mengenai status imunisasi anaknya. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat meliputi persentase dari status imunisasi difteri serta persentase jumlah penderita dan carrier difteri. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Fiesher Exact (setelah uji chi square tidak memenuhi syarat) dengan tingkat signifikan 95% (p<0,05) untuk mencari hubungan antara variabel bebas (faktor kontak dan status imunisasi) dengan variabel terikat (keberadaan kuman C.diphterie), serta menggunakan uji koefisien kontingensia untuk mengetahui kuat hubungan antara kedua variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna pemberian imunisasi difteri dengan keberadaan kuman C. diphteriae pada anak (p = 0,23 ; C = 0,2), sementara status kontak berpengaruh terhadap keberadaan kuman C. diphteriae pada anak (p = 0,00 ; C = 0,9). Status imunisasi pada penelitian ini meliputi imunisasi DPT1 (p = 0,34 ; C = 0,18), imunisasi DPT2 (p = 0,28 ; C = 0,16), imunisasi DPT3 (p = 0,23 ; C = 0,2), dan imunisasi DT booster (p = 0, 82 ; C = 0,34) menunjukkan hubungan yang kurang bermakna terhadap keberadaan kuman C. diphteriae pada anak. Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dianjurkan adalah kebijakan dalam pengelolaan vaksin hendaknya didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai dan sesuai dengan pedoman yang ada. Keberhasilan imunisasi didukung oleh kualitas vaksin yang terjamin mutunya. Selain itu, penyuluhan mengenai imunisasi dan vaksinasi hendaknya lebih ditingkatkan untuk mencegah terjadinya drop out.
2.11 Sistem Pelayanan Kesehatan
1. Semua bayi usia kurang dari 1 tahun sudah harus mendapatkan 5 (lima) imunisasi dasar lengkap (BCG, DPT, Hepatitis, Polio dan Campak
2. Masyarakat diharapkan berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
3. Bila ada masyarakat yang mengalami gejala seperti penyakit dipteri, secepatnya berobat ke pelayanan medis terdekat (Puskesmas atau Rumah Sakit)
2.11     Legal etis
            Dalam kasus ini, peran perawat sebagai advokat harus bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam hal inform concern atas tindakan keperawatan yang dilakukan. Selain itu juga harus mempertahankan dan melindungi hak-hak klien serta memastikan kebutuhan klien terpenuhi.
Prinsip Etika keperawatan
1.    Otonomi
Prinsip bahwa individu mempunyai hak menentuka diri sendiri, memperoleh kebebasan dan kemandirian
Perawat yg mengikuti prinsip ini akan menghargai keluhan gejala subjektif (misal : nyeri pada faring), dan meminta persetujuan tindakan sebelum prosedur dilaksanakan
2.    Nonmaleficience
Prinsip menghindari tindakan yg membahayakan. Bahaya dpt berarti dgn sengaja, risiko atau tidak sengaja membahayakan.
Contoh : kecerobohan perawat dalam memberikan pengobatan menyebabkan klien mengalami ketidaknyamana.
3.             Beneficience
Prinsip bahwa seseorang harus melakukan kebaikan. Perawat melakukan kebaikan dengan mengimplementasikan tindakan yg menguntungkan/bermanfaat bagi klien. Contohnya perawat memberikan latihan batuk efektif untuk mengeleuarkan sekret
4.             Justice
            Prinsip bahwa individu memiliki hak diperlakukan setara.
Cth : ketika perawat bertugas sendirian sementara ada beberapa pasien yang memerlukan penanganan. Perwat harus terlebih dahulu memeberikan asuhan kepada pasien yang terkena difteri
5.    Fidelity
Prinsip bahwa individu wajib setia terhadap komitmen atau kesepakatan dan tgg jawab yg dimiliki.
Ex: perawat setia menjaga pasien dengan sepenuh hati selama pasien mengalami keluhan seperti nyeri, sesak nafas.
6.    Veracity
Mengacu pada mengatakan kebenaran. Contohnya ketika diberikan obat analgesik pasien akan cepat tertidur jadi perawat harus menjelaskan dengan benar efek dari obat tersebut.
Nursing Advocasy
a.      PERAWAT DAN KLIEN
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.Ex: Perawat ketika menangani penyakit Pneumonia tidak boleh membedakan antara pasien yang satu dengan yang lainnya.
b.      PERAWAT DAN PRAKTIK
Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan melalui belajar terus-menerus agar mengerti dengan jelas tentang Pneumonia.
c.       PERAWAT DAN MASYARAKAT
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Contohya perawat memberikan penyuluhan tentang Pneumonia.
d.      PERAWAT DAN TEMAN SEJAWAT
Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan perawat maupun dengan tenaga kesehaan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.Perawat bertindak malindungi klien dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal. Perawat harus selalu mengikuti prosedur yang benar dalam menangani pasien Pneumonia
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1  PENGKAJIAN
a.      IDENTITAS
b.      RIWAYAT KESEHATAN
-          Riwayat Kesehatan Sekarang
Perhatikan tanda-tanda atau gejala  klinis dari difteri
-          Riwayat Kesehatan Dahulu
Bersangkutan  dari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala difteri yang masih akut
-          Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit difteri
c.       PEMERIKSAAN FISIK
Memeriksa TTV pada anak dan bmelakukan observasi secara IPPA dari kepala samapai kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah .  Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiolog
Pemeriksaan fisik ROS
Ø  B1               : Breathing (Respiratory System)
RR tak efektif (Sesak nafas), edema laring, obstruksi laring, penumpukan sekret dihidung,
Ø  B2               : Blood (Cardiovascular system)
Tachicardi, kelemahan otot jantung, sianosis.
Ø  B3                   : Brain (Nervous system)
Normal
Ø  B4               : Bladder (Genitourinary system)
Normal
Ø  B5               : Bowel (Gastrointestinal System)
Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
Ø  B6               : Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit
d.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam kulit. Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di dalam tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin alamiah naka akan terjadi reaksi peradangan setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4 – 7 hari. Jika uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasi secara aktif.
e.       POLA AKTIVITAS
1.         Pola nutrisi dan metabolik: disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu amakan berkuarang (anoreksia) muntah dsb
2.      Pola eliminasi : Bandingkan  sesudah atau sebelum penyakit difteri dengan mencatat frekuensi sehari
3.         Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan malas, lemah dan lesu
4.      Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau  tidak mau tidur
5.         Kognitif & perseptual : anak akan susah berkonsentrasi
6.         Persepsi diri : Karena klien masih kategori anak maka konsep dirinya akan masih dalam tahap perkembangan dan anak akan tampak cemas karena penyakit yang diderita atau kerna perspisahan
7.      Hubungan peran : Anak banyak tampak diam karena efek hospitalisasi
3.2  DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sesak nafas
Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
3.3  INTERVENSI
Pola napas tidak efektif b.d. sesak nafas
Tujuan:
Pola pernafasan menjadi efektif setelah dilaksanakan tindakan perawatan dalam 1 x 30 menit
Kriteria hasil:
1.      Respirasi 18 –24 x /menit
2.      Tidak ada tanda –tanda sianosis
3.      Pasien mengatakan sesak nafas berkurang / hilang
Intervensi
Rasional
1.      Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada
Kedalaman pernapasan bervariasi tergantung derajat kegagalan napas
2.      Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas tambahan
Bunyi napas menurun bila jalan napas terdapat gangguan (obstruksi,perdarahan,kolaps)
3.      Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan
4.      Bantu pasien dalam napas dalam dan latihan batuk
Dapat meningkatkan pernapasan karena adanya obstruksi
5.      Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan
Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
Tujuan :
-          Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada distres pernafasan.
Hasil yang diharapkan :
-          Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
-          Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi
Intervensi
Rasional
Observasi
1.      Kaji frekuensi atau kedalaman pernafasan dan gerakan dada
2.      Auskultasi area paru, satat area penurunan atau tidak ada aliran udara dan bunyi nafas adventisius, mis. Crackles, mengi.
3.      Bantu pasien latian nafas sering. Tunjukan atau bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
4.      Berikan cairan sedikitnay 2500 ml perhari(kecuali kontraindikasi). Tawrakan air hangat daripada dingin .
Kolaborasi :
5.      Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain, mis. Spirometer insentif, IPPB, tiupan botol, perkusi, postural drainage. Lakukan tindakan diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin.
Berikan obat sesuai indikasi mukolitik, ekspektoran, bronchodilator, analgesic.
1.      Takypnea, pernafasan dangkal, dan gerakan dada tidak simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan atau cairan paru
2.      Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi nafas bronchial dapat juga terjadi pada area konsolidasi. Crackles, ronchi dan mengi terdengar pada inspirasi dan atau ekspirasi pada respon teradap pengupulan cairan , secret kental dan spasme jalan nafas atau obstruksi.
3.      Nafas dalam memudakan ekspansi maksimum paru-paru atau jalan nafas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersiaan jalan nafas alami, membantu silia untuk mempertaankan jalan nafas paten.Penenkanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat.
4.      Cairan (khususnya yang hangat)memobilisasi dan mengluarkan secret. Memudahkan pengenceran dan pembuangan secret
5.      Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi secret. Analgesic diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat menurunkan upaya batuk atau menekan pernafasan.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24jam kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil
-          Klien Tidak ada mual muntah
-          Penambahan berat badan pasien
-          Peningkatan nafsu makan
Intervensi :
Intervensi
Rasional
a.       Identifikasi faktor yang menimbulkan mual/ muntah.
b.      Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu kebersihan mulut.
c.       Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
d.      Auskultasi bunyi usus, observasi/ palpasi distensi abdomen.
e.       Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering atau makanan yang menarik untuk pasien.
f.       Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
a.      Rasional :Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah
b.      Rasional :Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual
c.      Rasional :Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini
d.     Rasional :Bunyi usus mungkin menurun bila proses infeksi berat, distensi abdomen terjadi sebagai akibat menelan udara dan menunjukkan pengaruh toksin bakteri pada saluran gastro intestinal
e.      Rasional :Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk kembali
f.       Rasional :Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan terhadap infeksi, atau lambatnya responterhadap terapi
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
Tujuan :
Volume cairan pasien akan menjadi adekuat.
Kriteria Hasil :
Intake cairanmeningkat. Kulit lembab. Membran mukosa oral lembab.Intervensi
Intervensi
Rasional
1.      Timbang pasien
2.      Mengukur intake dan output cairan.
3.      Kaji turgor kulit.
4.      Observasi konsistensi sputum.
5.      Observasi konsentrasi urine.
6.      Monitor hemoglobin dan hematocrit.
7.      Observasi lidah dan mukosa membran.
8.      Bantu pasien mengidentifikasi cara untuk mencegah kekurangan cairan.
1.      Rasional : Periksa tambahan atau kehilangan cairan
2.      Rasional : Menetapkan data keseimbangan cairan
3.      Rasional : Kulit tetap baik berkaitan dengan inadekuat cairan interstitial
4.      Rasional : Sputum tebal menunjukkan kebutuhan cairan
5.      Rasional : Urine terkonsentrasi mungkin menunjukkan kekurangan cairan.
6.      Rasional : Peninggian mungkin menunjukkan hemokonsentrasi tepatnya kekurangan cairan.
7.      Rasional Kekeringan menunjukkan kekurangan cairan.
8.      Rasional : Mencegah kambuh dan melibatkan pasien dalam perawatan
BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
1.      Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengankuman penyebabnya.
2.      Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
3.      Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal
4.      Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a)      Panas lebih dari 38 °C
b)      Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
c)      Sakit waktu menelan
d)      Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karenapembengkakan kelenjar leher.

Daftar pustaka
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol.1. Jakarta:EGC
Agus.2011. Asuhan Keprawatan difteri.http://blitarnursingcybercenter.blogspot.com/2011/06/askep-difteri.html. Diakses tanggal 21 Desember 2011, Pukul 19.00
Ira. Asuhan keperawatan difteri.http://quantumnursing2.blogspot.com/2009/12/asuhan-keperawatan.html. Diakses tanggal 20 November 2009, Pukul 21.00
Sisi. 2011. Penyakit difteri. http://shisiell-vierche.blogspot.com/2011/11/artikel-tentang-penyakit-difteri.html. Diakses tanggal 23 Juli 2011, pukul 10.00
Ainizah. 2011. Difteri. http://ainizanoor.wordpress.com//.Diakses tanggal 23 Juli 2011, pukul 10.00
Wahyu. 2012. Asuhan keperawatan difteri.http://nswahyunc.blogspot.com/2012_02_26_archive.html. diakses tanggal 26 februari 2012, pukul 19.30